Thursday 2 September 2010

FIQIH MUAMALAH DAN PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM (KLASIK-PERTENGAHAN)

oleh: Ali Ghufron Sudirman


A. PENDAHULUAN

Fiqih merupakan salah satu khazanah keislaman dengan bidang kajian sangat luas. Secara garis besar, kajian fiqih Islam mencakup tiga dimensi, yaitu dimensi hubungan vertikal ('alâqatul insan birabbihi), dimensi hubungan internal ('alâqatul insan binafsihi), dan dimensi hubungan sosial ('alâqatul insan bimujtama'ihi).

Secara spesifik, makalah ini akan mengkaji dimensi hubungan sosial dalam fiqh, yang sering disebut dengan fiqih muamalah. Ustadz Shalih bin Ghanim As-Sadlan[1] membagi tema fiqih muamalah menjadi beberapa bagian, yaitu sebagai berikut.

1. Hukum Perdata (Al-Ahwal Asy-Syakhsiyah) yang membahas masalah keluarga, pernikahan, perceraian, nafkah, hak waris, dan sejenisnya. Fiqih di sini berfungsi mengatur hubungan antar suami istri dan keluarga.

2. Hukum Sipil (Al-Qanun Al-Madani) yang membahas interaksi dan transaksi antar individu, seperti jual beli, ijarah, rahn, kafalah, dan sejenisnya. Fiqih di sini berfungsi mengatur interaksi ekonomi masyarakat dan menjaga terpenuhinya hak-hak ekonomi masyarakat.

3. Hukum Pidana (Al-Qanun Al-Jina'i) yang membahas tentang perilaku-perilaku kriminal dan sanksi-sanksinya. Fiqih di sini berfungsi melindungi nyawa, harta, kehormatan, dan hak setiap muslim, serta menjaga stabilitas keamanan.

4. Hukum Acara Perdata dan Pidana (Al-Ahkam Al-Murafa'at Al-Madaniyyah Wa Al-Jinaiyyah) yang membahas tentang tata cara pengaduan, peradilan, dan sejenisnya. Fiqih di sini berfungsi menegakkan keadilan di antara umat manusia.

5. Aturan Perundang-Undangan (Al-Ahkam Ad-Dusturiyyah) yang mem­bahas tentang dasar dan sistem hukum negara Islam. Fiqih di sini berfungsi menentukan hubungan antara penguasa dan rakyat, serta menentukan hak dan kewajiban masyarakat.

6. Aturan Hukum Internasional (Al-Ahkam Ad-Dualiyyah) yang membahas tentang hubungan negara Islam dengan negara lain ketika damai dan saat perang, hubungan warga non muslim dengan warga muslim, termasuk tentang jihad dan perjanjian. Fiqih di sini berfungsi untuk menetapkan jenis hubungan, kerja sama dan sikap saling menghormati antar negara.

7. Undang-Undang Ekonomi Dan Moneter (Al-Ahkam Al-Iqtishadiyyah Wal Maliyah) yang membahas tentang hak dan kewajiban ekonomi masyarakat, hak dan kewajiban ekonomi negara, dan mengatur anggaran pendapatan dan belanja. Fiqih di sini berfungsi mengatur hubungan ekonomis antara pihak kaya dan pihak miskin, serta antara negara dan masyarakat.

8. Hukum Etika Dan Sopan Santun (Al-Akhlaq Wa Al-Adab).

Dari beberapa tema kajian fiqih muamalah di atas, makalah ini akan lebih mengkhususkan lagi untuk membahas ‘pemikiran’ ekonomi Islam periode klasik dan pertengahan. Di sini perlu ditegaskan bahwa dalam kapasitasnya sebagai studi pemikiran, makalah ini tidak berpretensi untuk membahas ‘praktik-praktik’ model perekonomian Islam, seperti jual beli, rahn, ijarah, muzara’ah, dan sejenisnya, karena kajian-kajian semacam itu lebih tepat dikaji di fakultas ekonomi Islam.

Muhammad Nejatullah Ash-Shiddiqy menjelaskan bahwa pemikiran ekonomi Islam adalah respons para pemikir muslim terhadap tantangan-tantangan ekonomi pada masa mereka. Pemikiran ekonomi Islam tersebut diilhami dan dipandu oleh ajaran Al-Quran dan Sunnah, juga oleh ijtihad (pemikiran) dan pengalaman empiris mereka. Pemikiran adalah sebuah proses kemanusiaan, namun ajaran Al-Quran dan sunnah bukanlah pemikiran manusia. Yang menjadi objek kajian dalam pemikiran ekonomi Islam bukanlah ajaran Al-Quran dan sunnah tentang ekonomi, tetapi pemikiran para ilmuwan Islam tentang ekonomi dalam sejarah atau bagaimana mereka memahami ajaran Al-Quran dan Sunnah tentang ekonomi. Obyek pemikiran ekonomi Islam juga mencakup bagaimana sejarah ekonomi Islam yang terjadi dalam praktek historis. Dengan demikian, tulisan ini hanya fokus kepada kajian historis, yakni bagaimana usaha manusia dalam menginterpretasi dan mengaplikasikan ajaran Al-Quran pada waktu dan tempat tertentu dan bagaimana orang-orang dahulu mencoba memahami dan mengamati kegiatan ekonomi juga menganalisa kebijakan-kebijakan ekonomi yang terjadi pada masanya. Jadi, cakupan sejarah pemikiran ekonomi Islam dalam tulisan ini ialah mengkaji bagaimana pemikiran para ilmuwan Islam sepanjang sejarah dan membahas sejarah ekonomi Islam yang terjadi secara aktual[2].

Di sini, kami juga merasa perlu untuk menyebutkan bahwa limitasi studi pemikiran ekonomi Islam ke dalam klasik dan pertengahan cukup mengundang dilema. Sebab, dalam kajian-kajian pemikiran ekonomi Islam sendiri, sebatas pengetahuan kami, tidak ada kata sepakat tentang batasan-batasannya[3]. Namun demikian, di dalam makalah ini kami berikhtiyar untuk membuat batasan klasik dan pertengahan. Pemikiran ekonomi klasik dalam makalah ini dimulai dari masa Rasulullah sampai jatuhnya kota Bagdad di tangan pasukan Mongol pada pertengahan abad ke-7 H (abad 7-13 M). Sedangkan abad pertengahan dimulai dari pertengahan abad ke-7 H sampai abad 14 H (13-19 M) dengan munculnya Muhammad Iqbal pada 1932 M yang mengakhiri stagnasi pemikiran umat Islam.


B. PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM KLASIK

Dalam literatur Islam, sangat jarang ditemukan tulisan tentang sejarah pemikiran ekonomi Islam atau sejarah ekonomi Islam. Buku-buku sejarah Islam atau sejarah peradaban Islam tidak menyentuh sejarah pemikiran ekonomi Islam. Buku-buku sejarah Islam itu lebih dominan bermuatan sejarah politik.

Akan tetapi, hal ini bukan berarti bahwa sistem ekonomi Islam tidak punya akar sejarahnya. Prof. Dr. Muhammad Nejatullah Ash-Shiddiqy, guru besar ekonomi Universitas King Abdul Aziz Saudi mengatakan bahwa Kejayaan peradaban Islam dan pengaruhnya atas panggung sejarah dunia untuk 1000 tahun, tidak mungkin tanpa diiringi dengan ide-ide ekonomi dan sejenisnya. Dari Abu Yusuf pada abad ke 2 Hijriyah sampai ke Thusi dan Waliullah abad 18 H, kita memiliki kesinambungan dari serentetan pembahasan yang sungguh-sungguh mengenai perpajakan, pengeluaran pemerintah, ekonomi rumah tangga, uang dan perdagangan, pembagian kerja, monopoli, pengawasan harga, dan sebagainya. Tapi sangat disayangkan, tidak ada perhatian yang sungguh-sungguh yang diberikan atas khazanah intelektual yang berharga ini oleh pusat-pusat riset akademik di bidang ilmu ekonomi[4].

Pada dasarnya, ekonomi Islam lahir sejak Rasulullah menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat Mekah dan Madinah. Perhatian Islam terhadap masalah ekonomi sangat besar. Bahkan ayat yang terpanjang dalam Al-Quran berisi tentang masalah perekonomian; bukan masalah ibadah (m­ahdah) atau akidah. Ayat yang terpanjang itu ialah ayat 282 surah Al-Baqarah, yang menurut Ibnul Arabi[5], ayat ini mengandung 52 hukum atau masalah ekonomi.

C.C. Torrey dalam The Commercial Theological Term in the Quran menerangkan bahwa Al-Quran memakai 20 terminologi bisnis yang diulang sebanyak 720 kali. Dua puluh terminologi bisnis tersebut adalah 1.Tijarah, 2. Bai’, 3. Isytara, 4. Dain (Tadayan), 5. Rizq, 6. Riba, 7. dinar, 8. dirham, 9. qismah 10. dharb/mudharabah, 11. Syirkah, 12. Rahn, 13.Ijarah/ujrah, 14. Amwal 15.Fadlillah 17. akad/’ukud 18. Mizan (timbangan) dalam perdagangan, 19. Kail (takaran) dalam perdagangan, dan 20. waraq (mata uang)[6].

Nabi Muhammad menyebut ekonomi sebagai pilar pembangunan dunia. Dalam berbagai hadits, ia juga menyebutkan bahwa para pedagang (pebisnis) sebagai profesi terbaik, bahkan mewajibkan umat Islam untuk menguasai perdagangan. Rasul saw. bersabda:


عَلَيْكُمْ بِالتِّجَارَةِ ، فَإِنَّ فِيْهَا تِسْعَةُ أَعْشَارِ الرِّزْقِ . (رواه أحمد)

Berdaganglah kalian, karena di dalamnya terkandung sembilan puluh persen (pintu) rezeki. (HR. Ahmad)

Pada masa Rasulullah, permasalahan ekonomi yang muncul di masyarakat akan langsung diselesaikan atau ditanyakan kepada Rasulullah dan secara kontekstual persoalan ekonomi belum begitu kompleks. Namun, setelah Rasulullah wafat, kehidupan ekonomi berkembang dan permasalahan atau problematika semakin komplek, sehingga memunculkan berbagai pemikir ekonomi yang sangat mewarnai perkembangan dinamika dari ajaran ekonomi Islam. Para ulama mulai banyak yang menulis buku-buku yang membahas tentang ekonomi.

Sejarah membuktikan bahwa Ilmuwan muslim pada era klasik telah banyak menulis dan mengkaji ekonomi Islam tidak saja secara normatif, tetapi juga secara empiris dan ilmiah dengan metodologi yang sistematis. Selain itu, banyak ditemukan buku-buku yang khusus membahas bagian tertentu dari ekonomi Islam, seperti Kitab Al-Kharaj karangan Abu Yusuf (w.182 H/798 M), Kitab Al-Kharaj karangan Yahya bin Adam (w.203 H), Kitab Al-Kharaj karangan Ahmad bin Hanbal (w.221 M), Kitab Al-Amwal karangan Abu ’Ubaid Qasim bin Salam (w.224 H), Kitab Al-Amwal karangan Ibnu Zanjawaih (w.251), dan kitab Al-Iktisab fi al Rizqi karangan Muhammad Hasan Asy-Syabany (w.234 H). Masih banyak lagi buku-buku lainnya, baik yang secara khusus berbicara tentang ekonomi ataupun buku-buku fikih yang hanya membahas masalah-masalah hukum ekonomi. Buku-buku tersebut sarat dengan kajian ekonomi, seperti kebijakan moneter, fiskal (zakat dan pajak), fungsi uang, mekanisme pasar, monopoli, perburuhan, pengaturan usaha individu dan perserikatan, lembaga keuangan (baitul mal), dan syairafah (semacam Bank Devisa Islam). Mereka juga ada yang membahas kajian ekonomi murni, ekonomi sosial, dan ekonomi politik. Berikut ini akan disampaikan dua kajian pemikir ekonomi klasik, yang, menurut kami, representatif untuk mewakili era klasik awal dan era klasik akhir.


1. Konsep Kebijakan Fiskal Abu Yusuf dalam Kitab Al-Kharaj

Penulisan kitab Al-Kharaj adalah wujud pertanggungjawaban Abu Yusuf atas permintaan dan pertanyaan khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) tentang sistem operasional pemerintah berlandaskan agama, termasuk sistem perpajakan, administrasi keuangan dan anggaran negara.

Abu Yusuf mengisahkan bahwa Khalifah (amirul mukminin) Harun al-Rasyid memintanya untuk menyiapkan sebuah kitab dengan pembahasan yang luas, termasuk masalah ekonomi makro, untuk menjadikan pedoman generasi selanjutnya dan mencegah terjadinya krisis ekonomi nasional. Abu Yusuf kemudian menganalisis keadaan ekonomi negara dengan melakukan observasi di beberapa wilayah teritorial agar dapat mengambil langkah secara tepat dalam mengadopsi sistem perekonomian suatu negara untuk kemaslahatan umat manusia dan negara. Setelah melakukan observasi dan menganalisis berbagai wilayah, Abu Yusuf kemudian mengusulkan untuk membentuk suatu lembaga pemerintah dalam bidang keuangan negara (departemen keuangan).

Abu Yusuf dalam kitab Al-Kharaj mengutip seluruh sistem perpajakan yang diwajibkan untuk para petani dan lainnya, menentang pajak hasil bumi yang dikenakan pada petani, menegaskan pengawasan dan pengumpulan pajak, serta membahas tentang refleksi pasar, tarif dasar pajak dan lainnya.

Pemikiran ekonomi Abu Yusuf dalam kitab Al-Kharaj berbentuk pemikiran ekonomi kenegaraan, mengupas tentang kebijakan fiskal, yang berkenaan dengan pendapatan negara. Hal tersebut terlihat dari muatan pemikirannya yang memetakan mekanisme pendapatan negara (Income) dan pengeluaran (Expenditure)[7].


2. Konsep Uang Al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin

Konsep keuangan Al-Ghazali merupakan konsep yang unik karena aspek sufistik terkandung dan berpengaruh di dalamnya. Konsep ini dapat ditemukan dalam kitab Ihya 'Ulumiddin[8], di mana di dalam salah satu sub babnya Al-Ghazali membicarakan masalah uang yang dipergunakan manusia sebagai nikmat dari Allah.

Sejarah perkembangan uang, menurut Al-Ghazali, dimulai dari barter (al-Mufawadhah) hingga pada penggunaan logam mulia, yaitu emas dan perak. Barter dilakukan dengan cara langsung menukarkan barang dengan barang. Kegiatan tukar menukar barang ini dengan jalan "tukar ganti", yakni memberikan suatu barang yang dibutuhkan orang lain dan untuk mendapatkan barang gantian yang dibutuhkan. Sebelum pertukaran dengan uang berkembang, barang-barang diperdagangkan dengan barter ini.

Al-Ghazali menulis bahwa dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia telah melakukan kegiatan bisnis melalui transaksi jual beli. Ia mengakui bahwa dulu perdagangan atau jual beli telah dikenal banyak orang. Akan tetapi, cara sederhana yang mereka pergunakan adalah dengan saling tukar menukar barang dengan barang yang dimiliki oleh orang lain, meskipun pada dasarnya sistem barter ini terbatas pada beberapa jenis barang saja.

Lama kelamaan, setelah masyarakat mengenal spesialisasi dan perdagangan semakin luas, cara barter semakin tidak sesuai lagi, karena sulit sekali menemukan pihak lain yang kebetulan mempunyai barang yang sama dengan yang kita butuhkan, dan dia pun membutuhkan apa yang kita tawarkan kepadanya dengan nilai yang kira-kira sama atau dapat dibandingkan, dan ia bersedia menukarnya. Untuk itu, melihat semakin besarnya jangkauan perdagangan, sistem barter tersebut perlu direvisi dan diganti dengan menciptakan sesuatu yang nilainya disepakati bersama, yaitu uang. Kebutuhan akan adanya uang ini juga mengkonsekwensikan adanya lembaga khusus yang mengurusnya. Untuk itu, menurut Al-Ghazali dibutuhkan lembaga keuangan yang kemudian mengurus pembuatan dan percetakan uang, yang disebut dengan Dar al-Darb wa ash-Shayarifah (lembaga pencetakan dan penukaran), sebagai pengendali aktivitas moneter terpusat, guna mengefektifkan fungsi-fungsi administrasi negara.

Gagasan Al-Ghazali dengan teori evaluasi uangnya dapat memberikan gambaran jelas tentang terjadinya perpindahan (transformasi) dari sistem perekonomian (transaction) barter menuju perekonomian yang menggunakan sistem mata uang logam, yaitu dinar dan dirham.

Menurut Al-Ghazali fungsi uang adalah sebagai medium of Exchange (alat tukar) dan unit of account (satuan pengukur). Uang sebagai alat tukar berarti uang dapat mengubah suatu barang dari bentuk yang satu ke bentuk yang lain. Dalam liquiditasnya, uang dapat menjadi alat untuk memudahkan, yaitu sebagai alat untuk pembayaran dalam semua bentuk transaksi. Sedangkan uang sebagai satuan pengukur adalah, uang berfungsi menjadi pengukur terhadap pertukaran barang lain. Misalnya, untuk mengetahui apakah lima buah baju sama dengan satu kue maka perlu diketahui harga lima baju dan satu kue tersebut. Inilah fungsi uang di dalam Islam. Uang tidak memiliki harga tetapi uang dapat merefleksikan semua harga, sebagaimana huruf dalam kalimat dan cermin terhadap warna, keduanya hanya merefleksikan. Al-Ghazali mengatakan, "wa mauqi'uhuma fil amwal kamauqi'il harfi minal kalam, wa kamauqi'il mir'ati minal alwan.

Dalam hal ini, Kalau kita melihat sejenak fungsi uang di mata ekonomi konvensional, kita akan menemukan fungsi ketiga selain dua fungsi di atas, yaitu uang berfungsi sebagai store of value (penyimpan nilai) yang merupakan konsekuensi logis dari pengakuan teori konvensional terhadap adanya motif money demand for speculation. Tapi islam secara tegas menolak fungsi tersebut. Islam hanya memperbolehkan uang dipergunakan untuk transaksi dan untuk berjaga-jaga, dan menolak penggunaan uang untuk motif spekulasi. Al-Ghazali mengingatkan, "Kama anna habsahu zulmun. Fala ma'na libai'in naqdi bin naqdi illat-tikhadzun naqdi maqshudan lil iddikhar. Wahuwa zulmun."

Pada akhirnya, Al-Ghazali berkesimpulan bahwa menggunakan uang sebagaimana yang disyariatkan agama, yakni dengan cara bermuamalah yang baik adalah salah satu bentuk syukur nikmat. Sebaliknya, jika uang digunakan tidak sesuai yang disyariatkan agama maka ia berbuat zalim, bahkan kufur nikmat[9].


C. PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM MASA PERTENGAHAN

Jatuhnya kota Bagdad ke tangan Mongol (1258 M) adalah pukulan telak bagi umat Islam. Masa ini juga dikenal sebagai masa transisi. Disebutkan di dalam sejarah, bahwa sejak kejatuhan kota Bagdad ini, umat Islam mulai terpecah. Bahkan hampir kurang lebih selama tiga tahun umat Islam tidak memiliki khalifah[10].

Ketika kondisi politik tidak kondusif seperti itu, kajian-kajian ilmiah juga terpengaruh, termasuk kajian tentang ekonomi Islam. Beberapa ulama yang menekuni studi ekonomi pada masa ini antara lain Ibn Taimiyah (1262-1328), Ibnul Qayyim (1292-1350 M), Ibn Khaldun (1332-1406), dan Ibnu Rajab Al-Hambali (1336-1393 M). Pada akhir-akhir masa pertengahan muncul pemikir ekonomi Islam, seperti Shah Waliullah (1702-1763).


1. Pemikiran Ekonomi Ibnu Taimiyah dalam Kitab As-Siyasah Asy-Syar'iyyah

Pemikiran ekonomi Ibnu Taymiyah yang sangat signifikan dalam kehidupan adalah mengenai kompensasi wajar, (just compensation), harga wajar (just price), mekanisme pasar, regulasi harga, hak kepemilikan, konsep bunga dan uang, kebijakan moneter, kemitraan (partnership), peran negara dan kueangan negara (public finance). Dasar pijakan pemikiran Ibnu Taymiyah sangat penuh dengan nilai-nilai etika yang selalu menggunakan landasan Al-Quran , Sunnah Rasul dan Ijtihad untuk memenuhi tuntutan zaman[11].


2. Pemikiran Ekonomi Ibnu Khaldun dalam Kitab Muqaddimah

Di antara pemikir era klasik dan pertengahan yang mengkaji ekonomi Islam, Ibnu Khaldun merupakan salah satu ilmuwan yang paling menonjol. Ibnu Khaldun sering disebut sebagai raksasa intelektual paling terkemuka di dunia. Ia bukan saja Bapak sosiologi, melainkan juga Bapak ilmu Ekonomi, karena banyak teori ekonominya yang jauh mendahului Adam Smith dan Ricardo. Artinya, ia lebih dari tiga abad mendahului para pemikir Barat modern tersebut. Muhammad Hilmi Murad secara khusus telah menulis sebuah karya ilmiah berjudul Abul Iqtishad : Ibnu Khaldun. Dalam tulisan tersebut Ibnu Khaldun dibuktikannya secara ilmiah sebagai penggagas pertama ilmu ekonomi secara empiris. Karya tersebut disampaikan­nya pada Simposium tentang Ibnu Khaldun di Mesir 1978.

Sebelum Ibnu Khaldun, kajian-kajian ekonomi di dunia Barat masih bersifat normatif, adakalanya dikaji dari perspektif hukum, moral, dan adapula dari perspektif filsafat. Karya-karya tentang ekonomi oleh para ilmuwan Barat, seperti ilmuwan Yunani dan zaman Scholastic bercorak tidak ilmiah, karena pemikir zaman pertengahan tersebut memasukkan kajian ekonomi dalam kajian moral dan hukum. Sedangkan Ibnu Khaldun mengkaji problem ekonomi masyarakat dan negara secara empiris. Ia menjelaskan fenomena ekonomi secara aktual.

Muhammad Nejatullah Ash-Shiddiqy, menuliskan poin-poin penting dari materi kajian Ibnu Khaldun tentang ekonomi, bahwa Ibnu Khaldun membahas aneka ragam masalah ekonomi yang luas, termasuk ajaran tentang tata nilai, pembagian kerja, sistem harga, hukum penawaran dan permintaan, konsumsi dan produksi, uang, pembentukan modal, pertumbuhan penduduk, makro ekonomi dari pajak dan pengeluaran publik, daur perdagangan, pertanian, industri dan perdagangan, hak milik dan kemakmuran, dan sebagainya. Ia juga membahas berbagai tahapan yang dilewati masyarakat dalam perkembangan ekonominya.

Sejalan dengan Shiddiqy, Boulokia dalam tulisannya Ibn Khaldun: A Fourteenth Century Economist,” menuturkan bahwa Ibn Khaldun telah menemukan sejumlah besar ide dan pemikiran ekonomi fundamental, beberapa abad sebelum kelahiran ”resminya” (di Eropa). Ia menemukan keutamaan dan kebutuhan suatu pembagian kerja sebelum ditemukan Smith dan prinsip tentang nilai kerja sebelum Ricardo. Ia telah mengolah suatu teori tentang kependudukan sebelum Malthus dan mendesak akan peranan negara di dalam perekonomian sebelum Keynes. Bahkan lebih dari itu, Ibn Khaldun telah menggunakan konsepsi-konsepsi ini untuk membangun suatu sistem dinamis yang mudah dipahami di mana mekanisme ekonomi telah mengarahkan kegiatan ekonomi kepada fluktuasi jangka panjang.

Lafter, penasehat ekonomi presiden Ronald Reagan, yang menemukan teori Laffter Curve, berterus terang bahwa ia mengambil konsep Ibnu Khaldun. Ibnu Khaldun mengajukan obat resesi ekonomi, yaitu mengecilkan pajak dan meningkatkan pengeluaran (ekspor) pemerintah. Pemerintah adalah pasar terbesar dan ibu dari semua pasar dalam hal besarnya pendapatan dan penerimaannya. Jika pasar pemerintah mengalami penurunan, maka adalah wajar jika pasar yang lain pun akan ikut turun, bahkan dalam agregate yang cukup besar.

Oleh karena besarnya sumbangan Ibnu Khaldun dalam pemikiran ekonomi, maka Boulakia mengatakan bahwa sangat bisa dipertanggung jawabkan jika kita menyebut Ibnu Khaldun sebagai salah seorang Bapak ilmu ekonomi. Shiddiqi juga menyimpulkan bahwa Ibn Khaldun secara tepat dapat disebut sebagai ahli ekonomi Islam terbesar[12].

Kontribusi Ibnu Khaldun yang lain dalam bukunya Muqaddimah adalah bahwa jatuh bangunnya suatu dinasti atau peradaban sangat tergantung pada kesejahteraan atau kesulitan manusia. Dalam analisisnya, fenomena jatuh dan bangunnya suatu dinasti atau peradaban sangat bergantung tidak saja pada variabel-variabel ekonomi, tetapi juga pada sejumlah faktor lain yang turut menentukan kualitas individu, masyarakat, penguasa, dan lembaga-lembaga.

Secara keseluruhan model Ibnu Khaldun dapat diringkas dalam nasihatnya kepada para raja sebagai berikut:

  1. Kekuatan kedaulatan (al-mulk) tidak dapat dipertahankan kecuali dengan mengimplementasikan syariah;
  2. Syariah tidak dapat diimplementasikan kecuali oleh sebuah kedaulatan (al-mulk);
  3. Kedaulatan tak akan memperoleh kekuatan kecuali bila didukung oleh sumber daya manusia (ar-rijal);
  4. Sumber daya manusia tidak dapat dipertahankan kecuali dengan harta benda (al-mal);
  5. Harta benda tidak dapat diperoleh kecuali dengan pembangunan (al-imarah);
  6. Pembangunan tidak akan dicapai kecuali dengan keadilan (al-‘adl);
  7. Keadilan merupakan tolok ukur (al-mizan) yang dipakai Allah untuk mengevaluasi manusia; dan
  8. Kedaulatan mengandung muatan tanggungjawab untuk menegakkan keadilan[13].


D. PENUTUP

Dalam tiga dekade belakangan ini, kajian dan penelitian ekonomi Islam kembali berkembang. Berbagai forum internasional tentang ekonomi Islam telah sering dan banyak digelar di berbagai negara, seperti konferensi, seminar, simposium, dan workshop. Puluhan doktor dan profesor ekonomi Islam yang ahli dalam ekonomi konvensional dan syariah tampil sebagai pembicara dalam forum-forum tersebut.

Dari kajian mereka ditemukan bahwa teori ekonomi Islam sebenarnya bukan ilmu baru ataupun ilmu yang diturunkan secara mendasar dari teori ekonomi modern yang berkembang saat ini. Fakta historis menunjukkan bahwa para ilmuwan Islam zaman klasik adalah penemu dan peletak dasar semua bidang keilmuan, termasuk ilmu ekonomi.

Justru, kebangkitan Eropa pada abad ke 12 Masehi disebabkan oleh adanya persinggungan Eropa dengan dunia Islam yang sangat tinggi di Spanyol dan Palestina. ada great gap dalam sejarah pemikiran ekonomi antara Islam dan Eropa selama 500 tahun, yaitu masa yang dikenal sebagai dark ages. Masa kegelapan Barat tersebut sebenarnya adalah masa kegemilangan Islam. Ketika Barat dalam suasana kegelapan dan keterbelakangan itu, Islam sedang jaya dan gemilang dalam ilmu pengetahuan dan peradaban. The dark ages dan kegemilangan Islam dalam ilmu pengetahuan adalah suatu masa yang sengaja ditutup-tutupi barat, karena pada masa inilah pemikiran-pemikiran ekonomi Islam 'dicuri' oleh ekonom Barat. Proses pencurian itu diawali sejak peristiwa perang salib yang berlangsung selama 200 tahun, yakni dari kegiatan belajarnya para mahasiswa Eropa di dunia Islam.

Dalam abad 11 dan 12 M, sejumlah pemikir Barat seperti Constantine the African dan delard of Bath melakukan perjalanan ke Timur Tengah, belajar bahasa Arab dan melakukan studi serta membawa ilmu-ilmu baru ke Eropa. Leonardo Fibonacci atau Leonardo of Pisa (w.1240) belajar di Bougioe, Aljazair pada abad ke 12. Ia juga belajar aritmatika dan matematikanya Al-Khawarizmi. Sekembalinya dari Arab, ia menulis buku Liber Abaci pada tahun 1202.

Kemudian banyak pula mahasiswa dari Itali, Spanyol, dan Prancis Selatan yang belajar di pusat kuliah Islam untuk belajar matematika, filsafat, kedokteran, kosmografi, dan ekonomi. Setelah pulang ke negerinya, mereka menjadi guru besar di universitas-universitas Barat. Pola pengajaran yang dipergunakan adalah persis seperti kuliah Islam, termasuk kurikulum serta metodologi ajar-mengajarnya. Universitas Naples, Padua, Salero, Toulouse, Salamaca, Oxford, Monsptellier dan Paris adalah beberapa universitas yang meniru pusat kuliah Islam.

Sejarah juga mencatat bahwa ilmuwan terkemuka Raymond Lily (1223-1315 M), belajar di universitas Islam. Sepulangnya ke Eropa ia banyak menulis tentang kekayaan khazanah keilmuan Islam dan selanjutnya mendirikan The Council of Vienna (1311) dengan lima buah fakultas yang mengajarkan bahasa Arab sebagai mata kuliah utama. Dengan pengusaan bahasa Arab, mereka menerjemahkan karya-kaarya Islam ke bahasa latin. Salah satu materi yang diterjemahkan adalah berkenaan dengan ilmu ekonomi Islam. Beberapa penerjemah tersebut antara lain, Michael Scot, Herman the German, Dominic Gusdislavi, Adelard Bath, Constantine the African, John of Seville, Williem of Luna Gerard of Cremona, Theodorus of Antioch. Alfred of Sareshel dan banyak lagi deretan penerjemah. Di antara para penerjemah itu terdapat penerjemah Yahudi, seperti Jacob of Anatolio, Jacon ben Macher, Kalanymus ben kalonymus, Moses ben Salomon, Shem Tob ben Isac of Tortosa, Salomon Ibn Ayyub, Todros Todrosi, Zerahoyah Gracian, Faraj ben Salim dan Yacub ben Abbob Marie.

Beberapa pemikiran ekonomi Islam yang disadur ilmuwan Barat antara lain, teori invisible hands yang berasal dari Nabi saw dan sangat populer di kalangan ulama. Teori ini berasal dari hadits Nabi Saw. sebagaimana disampaikan oleh Anas RA, sehubungan dengan adanya kenaikan harga-harga barang di kota Madinah. Dalam hadits tersebut diriwayatkan sebagai berikut :

أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ عَوْنٍ أَخْبَرَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ حُمَيْدٍ وَثَابِتٍ وَقَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ قَالَ : غَلاَ السِّعْرُ عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ النَّاسُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ غَلاَ السِّعْرُ فَسَعِّرْ لَنَا. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- : إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْخَالِقُ الْقَابِضُ الْبَاسِطُ الرَّازِقُ الْمُسَعِّرُ ، وَإِنِّى أَرْجُو أَنْ أَلْقَى رَبِّى وَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْكُمْ يَطْلُبُنِى بِمَظْلَمَةٍ ظَلَمْتُهَا إِيَّاهُ بِدَمٍ وَلاَ مَالٍ . (روه الدارمي)

Harga melambung pada zaman Rasulullah saw. Orang-orang ketika itu mengajukan saran kepada Rasulullah dengan berkata, “Ya Rasulullah, harga-harga melambung tinggi; hendaklah engkau menetukan harga.” Rasulullah saw. Kemudian menjawab, ”Sesungguhnya Allah-lah yang menetukan harga, yang menahan dan melapangkan dan memberi rezeki. Sungguh aku sangat berharap menemui tuhanku, sedang tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntutku tentang kezaliman yang aku lakukan terhadapnya, baik dalam darah maupun harta.” (HR. Ad-Darimi)

Dengan hadits ini terlihat jelas bahwa Islam jauh lebih dahulu (lebih 1160 tahun) mengajarkan konsep invisible hand atau mekanisme pasar daripada Adam Smith. Inilah yang mendasasari teori ekonomi Islam mengenai harga. Rasulullah saw. dalam hadits tersebut tidak menentukan harga. Ini menunjukkan bahwa ketentuan harga itu diserahkan kepada mekanisme pasar yang alamiah impersonal. Maka sekali lagi ditegaskan kembali bahwa teori inilah yang diadopsi oleh Bapak Ekonomi Barat, Adam Smith dengan nama teori invisible hands. Menurut teori ini, pasar akan diatur oleh tangan-tangan tidak kelihatan (invisible hands). Bukankah teori invisible hands itu lebih tepat dikatakan God Hands?

Bahkan, Bapak ekonomi Barat itu, dengan bukunya The Wealth of Nation diduga keras banyak mendapat inspirasi dari buku Al-Amwalnya Abu ‘Ubaid. Judul buku Adam Smith saja persis sama dengan judul buku Abu ‘Ubaid yang berjudul Al-Amwal.

Indikasi-indikasi lain yang menunjukkan pengaruh ekonomi Islam terhadap ekonomi Barat dan modern ialah diadopsinya kata credit yang dalam ekonomi konvensional dikatakan berasal dari credo (pinjaman atas dasar kepercayaan). Credo sebenarnya berasal dari bahasa Arab “qa-ra-da” yang secara fikih berarti meminjamkan uang atas dasar kepercayaan. Hiwalah yang dipraktekkan sejak zaman Nabi, baru dikenal oleh praktisi perbankan konvensional tahun 1980-an dengan nama anjak piutang.

Menurut Dr Sami Hamond, seorang ahli perbankkan dari Yordan, cek pertama yang ditarik di dunia ini bukan oleh tukang besi Inggris tahun 1675 di London sebagaimana disebutkan dalam textbook Barat, tetapi dilakukan oleh Saifudawlah Al-Hamdani, putra mahkota Aleppo yang berkunjung ke Bagdad pada abad X Masehi. Penukaran mata uang mengakui keabsahan cek yang dikeluarkan putera mahkota karena ia mengenal tanda tangannya. Dalam Encyclopedia of Literates, menurut Hamond, juga diceritakan seorang penyair bernama Jahtha menerima selembar cek yang ia gagal menguangkannya. Ini terjadi juga pada abad ke 10 Masehi. Sejarah itu menunjukkan bahwa pada abad ke 10 yang lalu cek sudah dikenal dalam ekonomi Islam. Seorang pengelana Persia Naser Kashro yang pergi ke kota Bashrah pada abad ke 10 M menceritakan, bahwa uang yang dibawanya diserahkan pada penukar mata uang dan ia menerima kertas berharga, semacam traveller cheques yang dipakai dalam berbelanja.

Indikasinya menunjukkan bahwa kemajuan ekonomi Islam zaman klasik dan pertengahan, sangat terasa di Inggris, tanah kelahiran Adam Smith, bahkan jauh sebelum ia lahir. Pada tahun 774 M, Raja Offa yang di Inggeris ketika itu mencetak koin emas yang merupakan copy langsung (direct copy) dari dinar Islam, termasuk tulisan Arabnya. Semua tulisan di coin (uang logam) itu adalah tulisan Arab, kecuali pada satu sisinya tertulis OFFAREX. Realitas itu menunjukkan bahwa dinar Islam saat itu merupakan mata uang terkuat di dunia. Selain itu, perekonomian umat Islam jauh lebih maju dari Eropa. Hal itu menunjukkan bahwa perdagangan internasional muslim telah menjangkau sampai Eropa Utara. Paparan di atas menunjukkan bahwa peran dan pemikiran-pemikiran ilmuwan muslim dalam ekonomi sangat signifikan terhadap dunia dan terhadap kebangkitan intelektualisme Eropa sekalipun. Wallahu a'lam bish-shawab.



Daftar Referensi:

Abu Zakariya, Yahya bin Adam bin Sulaiman al-Qurasyi, Al-Kharaj. Maktabah Syamilah.

Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad. Ihya’ Ulumiddin. Jilid 2 dan 3. Maktabah Syamilah.

As-Sadlan, Shalih bin Ghanim. Risalah fi al-Fiqhi al-Muyassar. Arab Saudi: Wizarah Syu'un Islam wa al-Auqaf wa ad-Da'wah wa al-Irsyad. 1425 H.

Ibnul Arabi, Ahkamu Al-Quran. Jilid 1. Maktabah Syamilah.

Ibnu Khaldun, Al-Muqaddimah. Jilid 1. Maktabah Syamilah.

Ibnu Taimiyah, Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim, As-Siyasah Asy-Syar'iyyah, Maktabah Syamilah.

Karim, Abdul. Prof. Dr. M.A., M.A. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Jogjakarta: Pustaka Book Publisher, cet. Ii. 2009.

Website:

http://eei.fe.umy.ac.id/index.php?option=page&id=94&item=265.

http://fai.uhamka.ac.id/post.php?idpost=100

http://id.shvoong.com/books/1834907-sejarah-pemikiran-ekonomi-islam.

http://samuderailmufortuna.blogspot.com/2009/04/sejarah-pemikiran-ekonomi-Islam.html

http://sbypresidenku.com/content/pengejawantahan_ekonomi_Islam

http://www.opensubscriber.com/message/mediacare@yahoogroups.com/11983509.html.



[1] Shalih bin Ghanim As-Sadlan, 1425 H. Risalah fi al-Fiqhi al-Muyassar, Wizarah Syu'un Islam wa al-Auqaf wa ad-Da'wah wa al-Irsyad, Arab Saudi.

[3]. Sebagai contoh, dalam bukunya, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: dari Era Klasik hingga Modern dan Perbandingannya dengan Ekonomi Konvensional, Dr. Deliarnov Anwar membagi sejarah pemikiran ekonomi Islam pada empat fase. Fase pertama, pemikiran-pemikiran ekonomi Islam baru pada tahap meletakkan dasar-dasar ekonomi Islam, dimulai sejak awal Islam hingga pertengahan abad ke-5 H/ 7-11 Masehi. Fase kedua adalah “cemerlang”, berlangsung dari abad 11-15 Masehi. Fase ketiga adalah stagnasi, ditandai dengan kemunduran Dunia Islam dalam khazanah intelektual, sejak 1446 hingga munculnya pemikir Muhammad Iqbal pada 1932. Fase keempat adalah modern, ditandai dengan kebangkitan Dunia Islam dari stagnasi pemikiran selama lima abad sejak pertengahan abad ke-15 hingga pertengahan abad ke-20. Jadi, di dalam buku ini, fase klasik dan pertengahan tidak dicantumkan. Sementara itu, Agustianto mengatakan bahwa pemikiran ekonomi Islam klasik adalah sejak abad 2 Hijrah s/d 9 Hijriyah. Lihat http://www.opensubscriber.com/message/mediacare@ yahoogroups.com/11983509.html. Lihat juga, http://fai.uhamka.ac.id/post.php?idpost=100.

[5]. Lihat, Ibnul Arabi, Ahkamu Al-Quran, Maktabah Syamilah, jilid I, hlm. 496.

[7]. http://eei.fe.umy.ac.id/index.php?option=page&id=94&item=265. Yahya bin Adam (w. 203 H) juga menulis kitab dengan judul dan tema yang sama, yaitu Al-Kharaj. Untuk melihat isinya lebih lanjut, lihat Abu Zakariya Yahya bin Adam bin Sulaiman al-Qurasyi, Al-Kharaj, Maktabah Syamilah.

[8]. Lihat, Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, Maktabah Syamilah, jilid 2 hlm. 417 dan seterusnya. Juga, jilid 3 hlm. 191 dan seterusnya.

[10]. Lihat, Prof. Dr. Abdul Karim, M.A., M.A, 2009. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Pustaka Book Publisher, Jogjakarta, cet. 2, hlm. 283.

[11]. http://eei.fe.umy.ac.id/index.php?option=page&id=94&item=265. Lihat juga, Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim Ibnu Taimiyah, As-Siyasah Asy-Syar'iyyah, Maktabah Syamilah.

[13]. Ibnu Khaldun, Al-Muqaddimah, Maktabah Syamilah, Jilid 1, hlm. 214 dan seterusnya. Lihat juga, http://eei.fe.umy.ac.id/index.php?option=page&id=94&item=265.

Artikel Terkait:

No comments:

Post a Comment

Katakan yang baik-baik, atau lebih baik diam. Begitu pesan Rasul kita...