Thursday 29 August 2013

Membongkar Pemikiran Menyeleweng JIL Seputar Hadits Nabi

|| Oleh: Ali Ghufron Sudirman ||

Hadits merupakan salah satu unsur terpenting dalam Islam. Ia menempati martabat kedua setelah Al-Quran dari sumber-sumber hukum Islam. Dalam artian, jika suatu masalah atau kasus terjadi di masyarakat tidak ditemukan dasar hukumnya dalam Al-Quran maka hakim ataupun mujtahid harus kembali kepada Hadits Nabi.

Dalam praktik, banyak sekali ditemukan masalah yang tidak dimuat dalam Al-Quran dan hanya didapatkan ketentuannya di dalam Hadits Nabi. Umpamanya aturan pelaksanaan shalat, puasa, zakat, dan haji yang merupakan rukun Islam, tidak dijelaskan rinciannya dalam Al-Quran, akan tetapi dijabarkan secara detail oleh Hadits Nabi saw. Demikian pula aturan muamalat dan transaksi, pelaksanaan hukuman pidana, aturan moral, dan lainnya.

Melihat betapa urgennya Hadits dan perannya yang esensial dalam Islam maka setiap akademisi muslim dituntut dan punya tanggung jawab yang sama besarnya untuk menjaga serta membentengi Hadits dari fitnah atau klaim yang meragukan kapasitas Hadits sebagai sumber hukum Islam. Sebab, ada sejumlah upaya yang dilakukan oleh beberapa kalangan untuk mencari-cari kelemahan Hadits, walaupun dengan cara mengada-ada.

Di Indonesia, upaya ini misalnya dilakukan oleh kelompok Jaringan Islam Liberal (JIL) dan para simpatisannya. Koordinator JIL, Ulil Abshar Abdallah, di dalam milist Jaringan Islam Liberal pernah menulis sejumlah pemikiran yang secara garis besar meragukan dan melemahkan posisi Hadits sebagai salah satu sumber hukum Islam. Dalam tulisannya di milis tersebut, Ulil mengemukakan sejumlah asumsi tentang Hadits, di antaranya sebagai berikut[1]:
1.          Banyak kejanggalan dalam periwayatan hadis seperti pernah diulas secara kontroversial oleh Mahmud Abu Rayyah dalam "Fi Al Sunnah Al Muhammadiyyah". Misalnya, kenapa jarang ada riwayat tentang isi khutbah Jumat Nabi, padahal Jumatan adalah peristiwa sosial yang disaksikan oleh banyak orang, dan tentunya berlangsung secara reguler. Jarang ditemukan suatu riwayat untuk tidak mengatakan tak ada sama sekali.
2.         Sebelum Imam Syafii menerbitkan risalahnya yang terkenal, Ar-Risalah, untuk membela posisi Hadits, kedudukan Hadits Nabi belum sepenting seperti yang kita saksikan setelah risalah itu muncul. Setelah terbitnya Ar-Risalah itu, kedudukan Hadits menjadi semacam second scripture yang hampir mendekati Al-Quran.
3.        Pada masa sahabat, terdapat keengganan untuk meriwayatkan hadis. Bahkan ada riwayat yang mengatakan bahwa Umar pernah memenjarakan sejumlah sahabat karena terlalu banyak meriwayatkan hadis. Mereka antara lain: Abdullah Ibn Mas'ud, Abu al Darda', 'Uqbah bin 'Amir dan Abu Mas'ud Al-Anshari.
4.          Pada dua abad pertama Hijriyah, sebelum mulai dibukukan oleh Az-Zuhri dan diteruskan oleh sarjana seperti Bukhari, Muslim, dll., Hadits sebetulnya tidak mempunyai kedudukan sepenting seperti yang kita saksikan sekarang.
5.          Dalam persepsi sebagian besar umat Islam, Hadits dianggap sebagai wahyu Allah, sehingga kedudukannya nyaris sama dengan Al-Quran. Pandangan yang menempatkan Hadits dalam posisi yang begitu 'suci' semacam ini adalah perkembangan terakhir yang tidak ada pada masa sahabat dan tabiin. 
6.          Sikap skeptis pada hadis bukan hanya ada sekarang. Pada zaman klasik juga sudah ada. Abu Hanifah, misalnya, tak menerima Hadits ahad sebagai dasar untuk perumusan hukum. Sejumlah ulama lain berpendapat bahwa hadis ahad tidak boleh dipakai dalam perdebatan soal akidah. Sementara kita tahu, Hadits yang mutawatir hanyalah sedikit jumlahnya.

Itulah di antara pikiran-pikiran menyeleweng JIL terhadap hadits Nabi[2]. Dapat dipastikan bahwa pemikiran ini bukan hanya pemikiran Ulil secara pribadi, melainkan pemikiran yang umum—kalau tidak boleh dibilang resmi—dari Jaringan Islam Liberal. Buktinya, pemikiran ini juga didukung oleh Chodjim, salah satu anggota JIL. Bahkan, Pak Machasin yang dalam milis tersebut dikatakan sebagai dosen pengajar di IAIN Jogjakarta juga mempunyai pendapat yang sama. Ia mengatakan bahwa ilmu mustalah hadits seperti yang dikembangkan oleh para ulama klasik belum bisa menjamin seratus persen kesahihan sebuah hadits dan masih banyak kejanggalan dalam peiwayatan hadits sebagaimana pernah diulas secara kontroversial oleh Mahmud Abu Rayah.

Membongkar Pemikiran Menyeleweng JIL seputar Hadits Nabi

Pemikiran-pemikiran menyeleweng seperti di atas sudah selayaknya disikapi dengan cermat agar tidak sampai meracuni umat Islam. Berikut ini, penulis—dengan  keterbatasan pengetahuan yang dimiliki—akan berusaha membongkar sejumlah penyelewengan pemikiran JIL seputar hadits nabi, sebagai berikut.

1. Perihal Jarangnya Periwayatan Khutbah Jumat Nabi

Kalau ditelusuri, pemikiran menyeleweng ini merupakan salah satu pemikiran para pengikut inkar sunah. Di Mesir, pada tanggal 10/4/1999, Majalah Ruz Al-Yusuf menurunkan artikel yang mengklaim bahwa ada sekitar 500 khutbah Nabi yang sengaja dihilangkan oleh para perawi hadits karena kontennya tidak sesuai dengan iklim politik zaman Abbasiyah. Inilah alasan, menurut penulis artikel tersebut yang merupakan salah satu anggota inkar sunah, mengapa jarang ditemukan redaksi khutbah Jumat Nabi di dalam hadits.

Sepertinya, JIL ketika mengusung pemikiran menyeleweng ini hanya melanjutkan kesimpulan para ingkar sunah tanpa mau mengecek keabsahan pendapat tersebut. Padahal, kalau mau melakukan cek ulang ke perpustakaan-perpustakaan Islam, akan ditemukan beberapa buku yang bahkan khusus memuat tentang khutbah-khutbah Jumat Nabi saw.

Data-data tentang teks khutbah Jumat nabi dapat diperoleh dari kitab-kitab hadits, sirah, sejarah, dan beberapa buku tentang i’jaz Al-Quran. Ini sumber pertama untuk menelusuri teks khutbah Jumat Nabi. Selain itu, ada beberapa buku yang memang khusus mengumpulkan khutbah-khutbah Nabi, di antaranya sebagai berikut.

a.       Buku Ithâfu Al-Anâm bi Khutabi Rasûli Al-Islâm karya Syekh Muhammad Khalil Al-Khatib.
b.      Buku Khutabu Ar-Rasûl karya Dr. Umar Al-Qathithi At-Tunisi. Buku dengan ketebalan lebih dari 260 halaman ini mengkaji khutbah-khutbah Nabi secara ilmiah, dilengkapi dengan referensi, dikelompokkan ke dalam sejumlah bab secara teratur, lalu dilakukan kajian fiqih dan balagah terhadapnya. Bahkan, buku ini tidak hanya memuat teks-teks khutbah Jumat Nabi saja, tetapi juga memuat khutbah-khutbah Nabi di sejumlah momen, seperti khutbah Nabi dalam Shalat Idain, dalam Shalat Khusuf, dan Shalat Kusuf[3].
c.       Buku Khutabu Ar-Rasûl karya Majdi Muhammad Asy-Syahawi. Buku dengan ketebalan 180 halaman ini juga memuat khutbah-khutbah Nabi dan dikelompokkan berdasar bab untuk memudahkan.

Jadi, apa yang dikatakan oleh JIL bahwa periwayatan khutbah Jumat nabi sangat jarang atau bahkan tidak ada itu keliru, tidak benar, dan tidak ilmiah. Sebab, data-data menunjukkan bahwa khutbah Jumat Nabi dan khutbah-khutbah nabi secara umum terekam dengan baik dan dapat ditemukan.

2. Kedudukan Hadits Pra-Imam Syafii

Pemikiran menyeleweng JIL yang lain seputar hadits adalah bahwa sebelum Imam Syafii menerbitkan risalahnya yang terkenal, Ar-Risalah, untuk membela posisi Hadits, kedudukan Hadits Nabi belum sepenting seperti setelah risalah itu muncul. Setelah terbitnya Ar-Risalah itu, kedudukan Hadits menjadi semacam second scripture yang hampir mendekati Al-Quran.

Pemikiran semacam ini jelas tidak benar. Sebab, sejak zaman Sahabat, hadits telah menempati kedudukan yang istimewa sebagai sumber hukum dan petunjuk. Para ulama juga telah sepakat bahwa hadits adalah sumber hukum Islam. Dalil-dalilnya terlalu banyak dan semua orang sudah sering membaca dan mendengarnya[4].

Adapun tentang pembelaan terhadap hadits yang dilakukan oleh Imam Syafii di dalam kitab Ar-Risâlah, pada dasarnya adalah reaksi terhadap munculnya aliran baru yang menolak sunnah; bukan aksi pribadi untuk mengangkat-angkat hadits. Sebab, menurut sejarah,  paham inkar sunah pertama muncul di masa Imam Syafi'i. Istilah yang dipakai oleh Imam Syafi'i untuk golongan inkar sunahadalah at-thâ'ifah allatî raddat al-akhbâr kullahâ (golongan yang menolak seluruh hadits). Alhasil, beliau tampil dan merasa terpanggil untuk membantah mereka pada salah satu bagian kitabnya ini. 

Jadi, sama sekali keliru bahwa sebelum Imam Syafii menulis kitab Ar-Risalah, hadits belum memiliki kedudukan penting di dalam Islam, karena faktanya, hadits sudah menempati kedudukannya sebagai sumber hukum kedua sejak zaman Rasulullah. Sesungguhnya, pemikiran semacam ini hanyalah bentuk dari sikap mengekor terhadap pendapat para orientalis tanpa mengkaji dan menelaahnya dengan cermat.

3. Para Sahabat Enggan Meriwayatkan Hadits

Memang benar bahwa para sahabat sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadits. Akan tetapi, hal ini bukan berarti para sahabat enggan meriwayatkan hadits atau menolak hadits atau karena hadits bukan bagian dari agama. Para sahabat melakukan hal itu hanya untuk meyakinkan kebenaran riwayatnya[5].

Akan tetapi, tidak benar jika dikatakan bahwa para sahabat, khususnya Abu Bakar dan Umar tidak senang meriwayatkan semua hadits Nabi. Yang benar, Abu Bakar dan Umar tidak senang banyak meriwayatkan hadits-hadits tentang rukhsah agar umat tidak memiliki ketergantungan terhadapnya, sebagaimana keduanya tidak senang banyak meriwayatkan hadits-hadits tentang hal-hal yang mutasyabih yang sulit dipahami oleh masyarakat. Adapun hadits-hadits azimah, hadits-hadits yang berkaitan dengan af’al al-ibad, ibadah, muamalah, akhlak, dan sejenisnya, keduanya senang meriwayatkan dan bahkan menanyakan kemungkinan adanya riwayat-riwayat tentang hal itu[6].

Adapun tentang sebuah riwayat yang mengatakan bahwa Umar pernah memenjarakan beberapa sahabat karena terlalu banyak meriwayatkan hadits, riwayat ini sebenarnya tidak terdapat dalam kitab yang muktabar dan tanda kepalsuannya sudah nampak. Ibnu Hazm telah menegaskan bahwa riwayat Umar memenjarakan tiga sahabat besar itu adalah dusta[7].   

Sebenarnya, bila kita memang meyakini kelestarian ajaran Islam sebagai agama yang terakhir, orisinalitas Al-Quran yang terjaga keaslian dan kemurniannya hingga akhir zaman, memahami kedudukan hadits sebagai penjelasan, penjabaran dan penerapan rinci dan konkrit dari Al-Quran maka kita akan mengerti makna dan maksud dari setiap ucapan dan tindakan para sahabat ketika melarang menulis hadits atau banyak meriwayatkan hadits. Sesungguhnya semua itu didorong didorong oleh maksud berikut:

a.    menjaga kemurnian Al-Quran dari pencampuran dengan Hadits,
b.    mengkonsentrasikan kaum muslimin untuk membaca, menghafal dan mengajarkan Al-Quran di tengah-tengah umat, dan
c.    menjaga Hadits itu sendiri dari kesalahan periwayatan yang berakibat fatal karena berbohong atas nama Rasulullah saw.

Bahkan Khalifah Umar bin Khattab sesungguhnya pernah merencanakan untuk menghimpun hadits Nabi secara tertulis. Untuk itu Umar terlebih dahulu meminta pertimbangan para sahabat lainnya dan mereka pun menyetujuinya. Tetapi setelah satu bulan Umar mohon petunjuk kepada Allah dengan shalat istikharah, akhirnya dia mengurungkan niatnya itu. Dia khawatir, himpunan hadits itu akan memalingkan perhatian ummat dari Al-Quran.

Larangan menulis hadits yang sifatnya "pembatasan sementara" (karena ada juga perintah lain untuk mencatat dan menyebarkan Hadits) itu terjadi di awal-awal Islam. Setelah al-Quran banyak dihafalkan dan mushaf al-Quran selesai ditadwin dan disebarkan di masyarakat, barulah di masa tabi'in dan sesudahnya, para ulama sibuk mencari, meneliti, menyeleksi dan mengkodifikasi hadits. 

Tidak ada secuil pun makna dan maksud untuk mengecilkan apalagi menafikan otoritas hadits sebagai sumber utama ajaran Islam sesudah Al-Quran. Malah adanya sikap yang sangat "pelit" atau "takut" dari sebagian sahabat untuk meriwayatkan hadits justru merupakan wujud nyata dari pengagungan mereka terhadap Hadits.  Seandainya hadits adalah rekaman ucapan dan tindakan seorang Nabi yang hanya bernilai sejarah, tidak bernilai hukum, niscaya tidak sehati-hati itu para Sahabat dalam meriwayatkannya.

Itulah di antara pemikiran-pemikiran menyeleweng Jaringan Islam Liberal seputar hadits Nabi dan bantahan-bantahannya. Sesungguhnya patut disayangkan sekali ketika seseorang yang mengaku dirinya masih Islam, tetapi menghujat sendiri sumber-sumber keberagamaannya. Paling tidak, hal ini menimbulkan dampak buruk di kalangan masyarakat Islam pada umumnya, dan melegakan musuh-musuh Islam karena mereka tidak harus turun tangan sendiri mengobok-obok Islam. Wallahu a’lam


[1] Disarikan dari http://sayno2jil.multiply.com/journal/item/8.
[2]. Di dalam bukunya, Al-Ittijâhât Al-Mu’âshirah fî Dirâsâti As-Sunnah An-Nabawiyyah Al-Mu’âshirah, DR. Muhammad Abdurrazzaq Aswad memetakan orientasi studi hadits kontemporer menjadi empat. Kelompok yang keempat oleh Dr. Muhammad disebut sebagai ‘orientasi menyeleweng’. Berdasar dari buku tersebut, tidak berlebihan kiranya bila pemikiran-pemikiran JIL tentang hadits dikategorikan sebagai pemikiran menyeleweng. Lihat, DR. Muhammad Abdurrazzaq Aswad. Al-Ittijâhât Al-Mu’âshirah fî Dirâsâti As-Sunnah An-Nabawiyyah Al-Mu’âshirah. (Damaskus: Dar Al-Kalim Ath-Thayyib, 2008) h. 559 dan selanjutnya.
[3]. Lihat, Abdul Adzim Ibrahim, Asy-Syubuhâtu Ats-Tsâlâtsûna Al-Mutsârah li Inkâri As-Sunnah. (Kairo: Maktabah Wahbah, 1999) h. 85 dan selanjutnya
[4]. Untuk sekadar contoh, bisa dilihat misalnya Dr. Musthafa As-Siba’i, As-Sunnah wa Makânatuha fi At-tasyrî’ Al-Islâmi. (Kairo: Dar As-Salam, 2008). Juga Mustasyar Salim Ali Al-Bahnasawi, As-Sunnah Al-Muftarâ Alaihâ. (Manshurah: Dar Al-Wafa’, 1992).
[5]. Lihat,  Abdul Adzim Ibrahim, Auhâm wa Akhthâ’ fi Adhami Masyru’ Ta’assufi li Hadmi As-Sunnah An-Nabawiyyah. (Kairo: Maktabah Wahbah, 1999) h. 15
[6]. Misalnya hadits tentang bagian warisan nenek. Lihat, Abdul Adzim Ibrahim, Asy-Syubuhâtu Ats-Tsâlâtsûna Al-Mutsârah li Inkâri As-Sunnah. (Kairo: Maktabah Wahbah, 1999) h. 30
[7]. Lihat, Ibnu Hazm, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Jilid 2, h. 139.   

Artikel Terkait:

No comments:

Post a Comment

Katakan yang baik-baik, atau lebih baik diam. Begitu pesan Rasul kita...